"Lakukan semua yang bisa dilakukan walaupun semuanya belum bisa dilakukan". Inilah salah satu kata Ayah Sop yang begitu terpatri dalam hati saya. Kata ini pertama kali saya dengar dari seorang ulama muda Aceh, Aba Helmi Nisam di acara PKU (pelatihan kader ulama) Aceh Utara yang diselenggarakan di hotel lido graha Lhokseumawe sekitaran tahun 2020 yang lalu, ketika itu saya menanyakan tentang langkah penegakan syariat Islam di Aceh secara kaffah. Beliau dengan nada tegas menjawab "Lakukan semua yang bisa dilakukan walaupun semuanya belum bisa dilakukan", begitu kata Ayah Sop; pungkas Aba Helmi.
Dan yang kedua, kata ini saya dengar ketika Ayah Sop mengisi acara seminar politik di Ma'had aly Raudhatul Ma'arif al-Aziziyyah, desa Cot trueng, muara batu, Aceh utara, ketika saya menanyakan tentang cita-cita menuju Khilafah islamiah. Ayah Sop pun menjawab dengan kata yang sama, yaitu "Lakukan semua yang bisa dilakukan walaupun semuanya belum bisa dilakukan".
Ini bukan hanya sekedar kata-kata, namun memang tercerminkan langsung pada sosok Ayah Sop. Kita bisa melihat bagaimana beliau begitu peduli terhadap kondisi umat, bukan hanya dari segi pendidikan, tetapi juga sosial dan politik. Bagaimana kiprah Ayah dalam dunia pendidikan dengan lembaga pendidikan dayah yang beliau dirikan, TKD (training kader dakwah) yang beliau cetuskan. Dalam dunia sosial dengan BMU (Barisan muda umat) yang telah beliau deklarasikan. Dalam dunia politik dengan paradigma dan etika politiknya yang mampu membuka mata publik untuk lebih peduli terhadap politik dan menghadirkan nuansa politik yang islami dan bermartabat.
Sudah menjadi problem bersama di kalangan para santri bahwa fiqh jinayat yang kita pelajari hari ini hanya sebagai ilmu belum ada pengaplikasian secara komprehensif di dalam hukum positif. Belajar cuma belajar, tetapi implementasinya masih sangat kurang. Ini sebuah problematika di dunia pendidikan Islam. Merubah sistem negara menjadi negara Islam merupakan hal yang sangat sulit, malah kemaslahatan yang diinginkan tidak lebih besar dari kemudharatan yang muncul. Malah yang hadir ialah sebaliknya.
Dalam hal ini, Ayah hadir mencari solusi terbaik guna menyelesaikan problematika ini dengan memberikan argumen bahwa syariat Islam hari ini harus bisa dan mampu menjawab tantangan zaman dan menyelesaikan problematika umat. Tidak hanya sampai disitu, ayah juga menjalin hubungan dengan seluruh stakeholder yang mencintai arus kebaikan, baik itu dari kalangan akademisi, dpr dan juga ahli hukum pidana guna melihat celah dan potensi positivisme hukum Islam. Tentu ini bukan target yang mudah untuk di capai, butuh waktu, keringat dan air mata. Tetapi kenapa ayah melakukannya?
Jawabannya:
"Lakukan semua yang bisa dilakukan walaupun semuanya belum bisa dilakukan".
Pasca perjanjian damai MOU HELSINKI, masih banyak masyarakat Aceh yang masih berada di bawah garis kemiskinan, lapangan kerja yang minim, masih jauh dari yang namanya kesejahteraan. Ini juga merupakan problem sosial yang belum selesai. Dalam hal ini, Ayah juga hadir mengajak para pecinta kebaikan untuk sebisa mungkin meringankan beban umat.
Timbullah inisiatif dan ide yang brilian dari seorang Ayah Sop untuk menghidupkan kembali rasa kepedulian antar sesama dengan membuat sebuah wadah sebagai mediasi bagi orang yang sebenarnya ingin untuk berbuat kebaikan tetapi terkadang belum tau harus memulainya dari mana. Wadah tersebut itulah BMU (Barisan muda umat) yang kita kenal hari ini.
Berkat uluran tangan para donatur pecinta kebaikan, akhir desember tahun 2017, BMU berhasil melaksanakan pogram perdananya yaitu membangun rumah layak huni bagi seorang nenek janda dhuafa di kecamatan Pandrah, kabupaten Bireuen, yaitu nek Fatimah. Sampai hari ini, tercatat puluhan rumah layak huni telah dibangun di berbagai kabupaten/kota di provinsi Aceh.
Nah, problematika sosial-ekonomi masih banyak yang belum terselesaikan. Masih banyak pemuda yang pengangguran disebabkan minimnya lapangan kerja. Masih ada lahan persawahan yang berpotensi menghasilkan tetapi tidak terurus disebabkan oleh permasalahan irigasi yang belum jelas arah penyelesaiannya. Lain lagi dengan harga perkebunan yang tidak menguntungkan para pekebun. Dan lain sebagainya.
Namun, kenapa Ayah hari ini berbuat sedemikian rupa, walaupun Ayah tau hal tersebut hanya bisa menyelesaikan sedikit dari masalah sosial-ekonomi masyarakat Aceh?
Jawabannya:
"Lakukan semua yang bisa dilakukan walaupun semuanya belum bisa dilakukan".
Dan yang paling membuat saya terkagum-kagum ialah hadirnya Ayah dalam perbaikan dunia perpolitikan di Aceh. Tidak berlebihan kalau Ayah bisa dibilang sebagai Ulama mujaddid politik di Aceh. Kenapa demikian?
Iya memang. Dari dulu sudah ada beberapa ulama yang terjun ke dalam dunia politik, namun pengaruhnya terhadap paradigma politik baru di Aceh masih sangat kurang. Buktinya terjun para ulama ke dalam kancah politik masih dianggap tabu oleh masyarakat luas bahkan terkadang dari kalangan para teungku itu sendiri.
Ideologi seperti ini masih sangat kental kala itu. Berbagai macam argumen sesat ditabur ke masyarakat luas, sehingga masyarakat merasa miris apabila ada seorang ulama atau teungku yang terjun ke dalam dunia politik, dengan menganggap politik itu kotor, ulama tugasnya itu mengajar dan memimpin pesantren bukan malah terjun kedunia politik.
Kalau ulama berpolitik, lantas siapa yang akan mengurus dayah? Kalau ulama berpolitik, maka marwahnya akan hilang. Kalau ulama berpolitik sama dengan sedang melilingi sumur yang akhirnya jatuh ke dalamnya suatu hari, anggapan seperti ini masih sangat lekat kala itu.
Fenomena seperti ini -bisa dipastikan- terjadi karena kurangnya edukasi kepada masyarakat tentang esensi dan urgensi politik itu sendiri.
Ketika syubhat-syubhat tentang politik itu telah meracuni pola pikir masyarakat, Ayah Sop hadir guna memperbaiki dan menawarkan pola pikir dan paradigma politik baru dengan menyuguhkan argumen-argumen yang rasional dan bahasa yang mudah dipahami sehingga mudah dicerna dan diterima hatta oleh masyarakat awam sekalipun.
Lain lagi dengan etika politik yang Ayah Sop tawarkan, tentu ini juga merupakan hal yang baru. Coba kita lihat kondisi politik yang terjadi di lapangan, pertikaian dan perselisihan antar partai begitu masif. Terkadang bukan hanya perkelahian verbal, tetapi menjurus kepada adu fisik. Ini sudah menjadi rahasia umum fakta perpolitikan di Aceh.
Kita tidak pernah mendengar sebelumnya ada calon pejabat yang meredam pengikutnya untuk tidak menyebar fitnah, mencaci-maki, menjelek-jelekkan lawan politiknya. Tetapi yang kita lihat dan dengar ialah salah satu calon mencela calon yang lain dan yang paling parah ialah mengobarkan api permusuhan antar pengikut dan partisannya masing-masing. Bahkan yang paling parah lagi disaat calon yang diusungnya sudah move on, tetapi api permusuhan diantara partisan belum juga padam. Ini sudah menjadi hal lazim terjadi.
Disaat kondisi politik di Aceh lagi hancur-hancurnya, porak-poranda, tidak bermoral dan beretika. Ayah Sop hadir niat untuk memperbaiki lewat pangung-pangung dakwah dan kiprahnya langsung dengan terjun ke dalam politik praktis di Aceh.
Tentu sikap dan pilihan Ayah ini masih belum bisa diterima oleh seluruh masyarakat awam, apalagi orang yang pikirannya masih terkontaminasi oleh syubhat-syubhat politik, lebih-lebih orang yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.
Ini bisa kita lihat jelas dari komentar-komentar oknum netizen - rahimakumullah- yang tidak berbasis kepada pengetahuan dan penghayatan yang mendalam terhadap gebrakan yang Ayah Sop lakukan. Sehingga berbagai fitnah dan cacian pun menghampiri.
Berbeda pilihan boleh, tetapi caci-maki dan sumpah-serapah jelas hal yang terlarang.
Nah, walaupun belum bisa diterima oleh seluruh masyarakat awam, lantas kenapa Ayah Sop tetap berdiri tegak dalam mengobarkan semangat perubahan dalam kancah politik?
Jawabannya jelas;
"Lakukan semua yang bisa dilakukan walaupun semuanya belum bisa dilakukan".
Masih banyak langkah-langkah yang Ayah Sop lakukan demi kepentingan umat. Sekali lagi, demi kepentingan umat. Namun tidak semua orang mampu memandang hal itu sebagai sebuah perjuangan kecuali hanya orang-orang yang mempunyai gairah untuk memperbaiki dan pecinta kebaikan.
Tapi kini Ayah sop telah tiada. Meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun semangat dan cita-citanya masih hidup yang akan dilanjutkan oleh murid-murid yang telah beliau didik selama ini. Kita sebagai pemuda hari ini harus mampu untuk mengikuti dan meneladani jejak-jejak Ayah demi kepentingan dan kebaikan umat di masa akan datang.
Jangan sampai jadi pemuda yang fisiknya masih hidup tetapi jiwanya telah mati. Inilah yang sering saya istilahkan dengan mati dalam hidup. Padahal mata masih mampu melihat, telinga masih mampu mendengar, hidung masih mampu mencium, lidah masih mampu merasa, kulit masih mampu meraba, tetapi semua itu seolah-olah tak lagi berguna dan berfungsi. Hambar.
Padahal akal masih mampu berpikir, tangan masih mampu menggenggam, kaki masih mampu berjalan, mulut masih mampu berbicara, jantungpun masih juga berdetak, tetapi semua itu seolah telah lumpuh.
Waktu hanyalah waktu. Peluang hanyalah peluang. Potensi hanyalah Potensi tidak dibarengi dengan aksi yang pasti untuk menciptakan perubahan yang signifikan.
Pagi berganti dengan siang. Siang hilang sore pun datang. Sore juga akhirnya menghampiri malam. Tapi tidak melakukan apa-apa. Kehidupan hanya diwarnai oleh scrol demi scrol yang telah membanjiri pikiran dengan berbagai macam pola pikir yang sulit untuk membedakan mana yang benar untuk dipertahankan dan mana yang salah untuk dihindari. Nauzubillah min zalik.
YOK BERUBAH KAWAN
BONGKAR KEBIASAAN LAMA!
Walaupun kini fisik Ayah telah berpisah, namun raganya masih bersama kita. Tetap hidup tak akan pernah hilang ditelan zaman dan masa. Dan saya yakin cara pandang ayah terhadap suatu problem dan teknis untuk menyelesaikan problem itu akan tetap hidup menembus ruang dan waktu. Paradigma dan etika politik yang telah Ayah tawarkan tetap akan berlanjut. Harapan dan cita-cita ayah tidak akan pernah mati. Walaupun memang sosok Ayah sulit untuk kita cara pengganti.
Hal ini tentu berkat jerit payah dan perjuangan Ayah selama ini. Dan beginilah disaat ulama wafat, mereka meninggalkan karya, ideologi, api perjuangan tentu juga meninggalkan generasi-generasi yang akan meneruskan perjuangannya dimasa akan datang . Wallahu a'lam.
Al-fatihah untuk Ayah Sop.
Comments
Post a Comment